Beberapa waktu yang lalu, masyarakat dikejutkan oleh polemik terkait keputusan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terhadap dr. Terawan Agus Putranto, SpRad yang dinilai telah melakukan pelanggaran kode etik kedokteran.
Hal ini terkait dengan metode terapi pengobatan stroke yang dilakukan oleh dr. Terawan dan dikenal masyarakat dengan nama “metode cuci otak” atau “brain wash” atau “brain flush”.
Stroke
Stroke terjadi ketika suplai darah pada otak terganggu atau berkurang akibat adanya gumpalan darah (stroke iskemik) atau akibat pembuluh darah yang pecah (stroke hemoragik).
Adanya sumbatan karena gumpalan darah atau karena pecahnya pembuluh darah ini menyebabkan gangguan peredaran suplai darah pada otak sehingga jaringan otak kekurangan oksigen dan nutrisi.
Akibatnya terjadi kematian sel-sel otak dalam beberapa menit yang dapat menyebabkan kecacatan dan bahkan kematian.
Selain dua jenis stroke yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat juga kondisi ketika terjadi penghentian atau gangguan suplai darah ke otak sementara akibat sumbatan pada pembuluh darah (Transient Ischaemic Attack/TIA).
Gangguan peredaran darah akan menyebabkan suplai oksigen pada otak terganggu sehingga menimbulkan gejala yang mirip dengan stroke, seperti gangguan bicara atau penglihatan, serta mati rasa pada wajah, lengan, dan kaki.
Hal yang membedakan dengan dua jenis stroke lainnya adalah pada kondisi TIA, gejala yang muncul hanya berlangsung selama beberapa menit atau jam dan dapat sembuh kembali dalam 24 jam karena tidak terjadi kerusakan sel-sel otak yang permanen. Oleh karena itu, kondisi TIA juga dikenal sebagai “stroke mini” atau “stroke kecil”.
Terapi cuci otak
Pengobatan stroke melalui terapi cuci otak, yang diperkenalkan oleh dokter Terawan, dilakukan dengan menggunakan alat Digital Subtrction Angiography (DSA).
Penggunaan alat DSA akan memberikan gambaran mengenai kondisi pembuluh darah di otak sehingga gangguan suplai darah dapat terdeteksi.
Prosedur penggunaan DSA adalah dengan memasukkan sebuah kateter kecil dan tipis ke dalam pembuluh darah arteri di paha dan kemudian mendorong kateter tersebut hingga ke pembuluh darah otak.
Zat kontras kemudian disuntikkan ke dalam kateter dan gambaran X-ray dari pembuluh darah kemudian dapat diperoleh.
Awalnya, DSA merupakan sebuah teknik dalam radiologi intervensi untuk tujuan diagnosis. Namun, dr. Terawan menggunakan DSA ini sebagai metode terapi trombolisis untuk menghancurkan gumpalan darah yang menyumbat pembuluh darah di otak sebagai penyebab stroke.
Prosedur terapi yang juga dikenal dengan nama “brain spa” ini adalah dengan menyuntikkan heparin, obat penghancur bekuan darah, pada daerah yang terdapat gumpalan darah setelah pemeriksaan dengan zat kontras.
Alat fluoroskopi digunakan untuk memonitoring keseluruhan prosedur disertai dengan monitoring tanda-tanda vital pasien selama prosedur berlangsung.
Kriteria penderita stroke yang dapat diobati dengan terapi cuci otak
Tidak semua penderita stroke dapat diobati dengan metode cuci otak ini. Terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi sebelum pelaksaan terapi, antara lain:
- Berusia kurang dari 86 tahun
- Stroke yang dialami merupakan stroke iskemik
- Tidak boleh mengalami pendarahan
- Memiliki tekanan darah normal
- Berada dalam golden period (periode emas) stroke, yaitu serangan stroke terjadi tidak lebih dari 8 jam. Bila lebih dari 8 jam, besar kemungkinan telah terjadi kematian sel-sel otak sehingga terapi menjadi tidak bermanfaat.
Hal yang perlu diperhatikan setelah terapi cuci otak
Tindakan terapi dengan DSA dilakukan dengan pembedahan minimal yaitu pada saat memasukkan kateter ke dalam pembuluh darah.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa DSA memiliki resiko minimal dibandingkan dengan pembedahan yang dilakukan secara massif.
Meski demikian, setelah menjalani terapi cuci otak, ada baiknya untuk memantau diri dari keluhan seperti:
- Demam
- Nyeri ditempat masuknya kateter (lengan atau paha) yang tidak hilang atau bertambah parah
- Lengan atau paha bengkak, kebiruan, mati rasa, berdarah, atau teraba dingin
- Sesak napas
- Pusing
- Mual
Bila menemui tanda-tanda keluhan tersebut, sebaiknya segera melaporkan kepada dokter. Selain itu, diketahui terdapat beberapa kemungkinan komplikasi yang terjadi setelah terapi cuci otak, yaitu:
- Penurunan tekanan darah atau syok
- Terjadi alergi terhadap zat kontras atau heparin yang digunakan saat terapi
- Terjadi perdarahan baik di lokasi tindakan atau organ lainnya
Artikel ini hanya sebagai informasi kesehatan, bukan diagnosis medis. HonestDocs menyarankan Anda untuk tetap melakukan konsultasi langsung dengan dokter yang ahli dibidangnya.