Antibiotik adalah merupakan salah satu jenis obat yang dapat melawan infeksi tertentu dan menjadi obat yang manjur apabila digunakan sesuai kondisi penyakit. Obat ini menghentikan bakteri dari mereproduksi atau menghancurkan sel bakteri yang jahat bagi tubuh.
Sebelum bakteri dapat berkembang biak dan menyebabkan gejala, sistem kekebalan biasanya dapat membunuh mereka. Sel darah putih menyerang bakteri berbahaya dan, bahkan jika gejalanya benar-benar terjadi, sistem kekebalan biasanya dapat mengatasi dan melawan infeksi.
Namun, kadang-kadang, jumlah bakteri berbahaya berlebihan, dan sistem kekebalan tidak bisa melawan semuanya. Antibiotik menjadi salah satu yang bermanfaat dalam memerangi bakteri.
Ada berbagai jenis antibiotik, yang bekerja dalam satu dari dua cara:
- Antibiotik bakterisida, seperti penisilin, membunuh bakteri tersebut. Obat-obatan ini biasanya mengganggu pembentukan dinding sel bakteri atau isi selnya.
- Bakterostatik menghentikan bakteri berkembang biak.
Saat Anda minum antibiotik, ikuti petunjuk dengan seksama. Penting untuk menyelesaikan obat Anda bahkan jika Anda merasa lebih baik. Jika Anda menghentikan pengobatan terlalu cepat, beberapa bakteri dapat bertahan hidup dan menginfeksi kembali Anda.
Jangan menyimpan antibiotik untuk kemudian hari atau menggunakan resep orang lain yang tidak sesuai resep dokter secara pribadi.
Jenis antibiotik yang memicu Demam
Beberapa jenis antibiotik dapat memicu demam. Seperti pada terapi sifilis dengan obat antibiotik golongan beta laktam atau obat sulfonamida.
Jenis obat antibiotik lainnya yang memicu demam seperti minosiklin dan cefalexin.
Mekanisme obat antibiotik pemicu Demam
Obat antibiotik tersebut dapat mengganggu pembuangan panas secara perifer, meningkatkan laju metabolisme, membangkitkan respons imun seluler atau humoral, meniru pirogen endogen, atau merusak jaringan.
Demam mungkin akibat dari tindakan farmakologis obat atau efek yang tidak terkait lainnya.
Demam yang diinduksi obat paling umum adalah hasil dari reaksi hipersensitivitas dan karakteristiknya mirip dengan reaksi alergi.
Apa yang harus dilakukan bila muncul Demam akibat antibiotik?
Pasalnya, demam merupakan tanda bahwa tubuh sedang melawan infeksi dan merupakan hal yang normal. Demam paling umum terjadi setelah 7 sampai 10 hari pemberian obat, dan akan tetap ada selama obat diteruskan. Demam akan menghilang segera setelah menghentikan obat, dan akan segera muncul kembali jika obat dikonsumsi kembali.
Apabila demam terus bertahan dalam 24 jam atau lebih, pemberian obat penurun panas seperti parasetamol atau ibuprofen dapat diresepkan sesuai petunjuk dokter. Periksalah segera untuk memastikan sumber demam pada tubuh.
Reaksi alergi akibat efek samping antibiotik
Obat antibiotik juga tentu memiliki beberapa efek smaping yang mungkin tidak semua orang mengalaminya. Efek samping tersebut diantaranya:
- Fotosensitivitas
- Gangguan perut atau saluran cerna seperti kram, diare, mual.
- Infeksi vagina
- Perubahan warna gigi
Salah satu efek samping serius adalah Sindrom Steven-Johnson. Sindrom Stevens-Johnson (SJS) biasanya disebabkan oleh reaksi malergi yang tidak terduga terhadap obat-obatan tertentu. Terkadang juga bisa disebabkan oleh infeksi.
Sindrom sering dimulai dengan gejala seperti flu, diikuti oleh ruam merah atau ungu yang menyebar dan membentuk lepuh. Kulit yang terkena akhirnya mati dan mengelupas.
Sindrom Stevens-Johnson adalah keadaan darurat medis yang memerlukan perawatan di rumah sakit, sering kali dalam perawatan intensif atau unit luka bakar.
Perawatan bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab yang mendasarinya, mengendalikan gejala dan mencegah komplikasi. Beberapa jenis obat dapat rentan menimbulkan sindrom SJS yang juga mencakup beberapa jenis obat antibiotik di dalamnya.
Obat-obatan yang paling sering menyebabkan sindrom Stevens-Johnson adalah:
- allopurinol
- carbamazepine
- lamotrigin
- nevirapine
- kelas obat antiinflamasi seperti meloxicam dan piroxicam)
- fenobarbital
- fenitoin
- sulfamethocazole dan antibiotik sulfa lainnya
- sertraline
- sulfasalazine
Artikel ini hanya sebagai informasi kesehatan, bukan diagnosis medis. HonestDocs menyarankan Anda untuk tetap melakukan konsultasi langsung dengan dokter yang ahli dibidangnya.