Studi terbaru telah menemukan fakta bahwa, keranjingan selfie menjadi salah satu masalah yang cukup mengkhawatirkan lantaran dapat menimbulkan beragam bahaya terutama kesehatan mental para remaja.
Majunya peradaban sejalan dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat. Kebiasaan lama pupus diterjang tren masa kini yang kian menggurita. Dimana semua orang bebas berekspresi dengan menavigasi lanskap sosial baru secara online. Ber-selfie ria menjadi salah satu caranya.
Mengambil foto narsis, mempostingnya ke berbagai jejaring sosial andalan, menunggu komentar dan jumlah like yang diterima menjadi satu kebiasaan yang tak bisa terelakkan. Sesekali saja itu masuk akal, namun bila terlampau terobsesi hingga disertai perilaku berisiko itulah yang membuat selfie berbahaya.
Bahaya yang dapat ditimbulkan akibat keranjingan selfie
Selfitis menjadi satu pertanda buruk akibat keranjingan selfie. Istilah ini pertama kali diciptakan pada tahun 2004 dalam artikel satir, namun sekarang telah diakui oleh American Psychiatric Association sebagai gangguan mental. Bersamaan dengan gangguan mental terkait teknologi lainnya seperti nomophobia atau sindrom ketakutan bila tidak memiliki ponsel atau akses masuk ke dalamnya.
Selfitis adalah kompleksitas psikologis akibat pengambilan foto selfie yang obsesif. Membuat penderitanya amat sangat 'bekerja keras' dalam menciptakan hasil foto terbaik dan memilah-milahnya berulang kali hanya untuk dapat di posting ke jejaring sosial favorit. Tujuannya guna mendapat perhatian lebih, merasa populer dibanding yang lainnya dan untuk terus menjaring para pengikut.
Kekhawatiran akan citra fisik jauh lebih besar dibandingkan sekedar membagikan momen-momen menarik. Membuat banyak dari penderitanya mendapatkan kecemasan berlebih bila saja hasil foto yang dipostingnya kurang begitu mendapat tanggapan. Bahkan sebagiannya benar-benar merasa terpukul ketika jumlah like dan komentar jauh dari ekspekstasi.
Tak sekedar memengaruhi mental, nyawa pun menjadi taruhan
Obsesi berlebih akan selfie ini tak sekedar memengaruhi mental, namun dapat menjalar pada kesakitan fisik bahkan hingga kematian. Terlalu lama berkutat dengan ponsel atau kamera saat mengambil gambar dapat menciptakan ketegangan di sekitar tangan atau siku akibat peradangan dan iritasi pada otot juga tendon.
Untungnya kondisi tersebut dapat dengan mudah diatasi melalui kompres dingin atau obat topikal/oles yang dijual bebas di apotek. Namun yang dikhawatirkan, ketika obsesi selfie ini telah disertai pula dengan perilaku berisiko yang menempatkan dirinya langsung pada kondisi berbahaya.
Misalnya dengan berada di pinggir tebing, di puncak gedung tinggi, di tengah arus deras sungai, di dekat kereta yang sedang melaju dan tempat berbahaya lainnya hanya untuk sekedar memperoleh hasil selfie yang dianggap berbeda dan sempurna.
Dalam sebuah studi terbaru, ditemukan hasil yang cukup mengejutkan. Dimana setidaknya 250 orang di seluruh dunia meninggal dunia kurun waktu 6 tahun terakhir hanya demi sebuah foto selfie. Indonesia pun tak luput didalamnya.
Tercatat ada beberapa kasus selfie berujung maut yang terjadi di Indonesia. Mulai dari terpeleset jatuh ke kawah gunung merapi di Yogyakarta, terseret arus bendungan di Pangandaran, tertabrak kereta di Deli Serdang dan beberapa kasus lainnya.
Pentingnya mengontrol perilaku selfie sejak dini
Kemajuan teknologi memang tak dapat dibendung. Pun pada kenyataannya, teknologi diciptakan guna memudahkan manusia dalam beraktivitas ataupun terhubung pada keluarga juga teman yang jauh. Bukan untuk membuat manusianya terlihat bodoh dan berperilaku negatif.
Ber-selfielah sewajarnya, gunakan sepaket gadget dan media sosial didalamnya dengan cara yang positif. Mengambil foto diri sewajarnya tanpa ada obsesi berlebih akan hal apapun, itu tak mengapa. Namun jangan sampai mengorbankan waktu, kesehatan mental, fisik hingga nyawa hanya untuk sekedar mendapat pengakuan dan jumlah like yang banyak dari media sosial.
Untuk orang tua, hendaknya lebih bersikap proaktif dalam mengawasi dan membimbing buah hati kesayangan. Tentunya dalam menggunakan gadget dan berbagai aplikasi didalamnya. Jangan biarkan mereka larut dan tenggelam dalam dunia maya. Doronglah untuk lebih aktif dalam berinteraksi dan beraktivitas positif di dunia nyata.
Yang juga tak kalah penting adalah, tugas kita semua untuk turut mengkampanyekan "Safe Selfie" seperti yang telah dilakukan Rusia dengan motonya "Bahkan ribuan 'likes' di media sosial tidak sepadan dengan nyawa dan kesehatan Anda". Dengan demikian tak ada lagi selfie liar yang dilakukan di tempat-tempat berbahaya.
Selfie adalah bentuk ekspresi diri tanpa obsesi berlebih.
Artikel ini hanya sebagai informasi kesehatan, bukan diagnosis medis. HonestDocs menyarankan Anda untuk tetap melakukan konsultasi langsung dengan dokter yang ahli dibidangnya.