Tidak hanya berdampak buruk pada timbulnya penyakit degeneratif, namun kebiasaan merokok dapat meningkatkan risiko timbulnya gangguan psikologis.
Meski tidak semua orang akan mengalami perubahan emosi maupun efek psikologis lainnya akibat kebiasaan merokok, namun perokok lebih rentan terhadap dampak psikologis ini dibanding orang biasa.
Alasan merokok dapat mempengaruhi kondisi psikologis seseorang
Merokok dapat menyebabkan kondisi psikologis seseorang berubah diakibatkan oleh ketergantungannya terhadap zat dalam rokok. Rokok mengandung zat nikotin yang akan mempengaruhi kinerja pada otak yang memicu ketergantungan terhadap rokok.
Ketergantungan ini dapat bersifat permanen yang dapat mengubah perilaku dan cara berpikir seseorang.
Ketika seseorang merokok, maka nikotin akan terserap pada mukosa mulut dan dengan cepat masuk ke dalam otak dalam waktu hanya 10 detik.
Zat nikotin ini akan terakumulasi pada otak yang pada akhirnya menyebabkan ketergantungan seseorang terhadap rokok semakin meningkat karena jumlah nikotin semakin banyak.
Keberadaan nikotin pada otak juga dapat meningkatkan ketergantungan seseorang dikarenakan memicu peningkatan hormone dopamine. Hormon dopamine yang meningkat pada otak dapat mengakibatkan menurunnya enzim monoamine oxidase yang sebenarnya berperan untuk menurunkan hormone dopamine.
Pada akhirnya kondisi ini menyebabkan hormone dopamine dalam otak semakin tidak terkendali dan menimbulkan ketergantungan akut pada seseorang.
Kecanduan merokok biasanya berdampak pada perubahan perilaku
Masih terkait dengan pembahasan sebelumnya terkait meningkatnya hormone dopamine pada otak seorang perokok, kondisi ini akan menyebabkan sebagian besar perokok mengaku mendapatkan perasaan lebih tenang dan bahagia ketika merokok.
Hanya saja, perasaan tenang dan bahagia ini sebenarnya hanya bersifat sementara atau sesaat ketika merokok saja. Setelah tidak merokok dalam beberapa jam, yang terjadi berikutnya justru perasaan tidak tenang dan stress akibat keinginannya merokok tidak terpenuhi.
Kondisi ini justru menyebabkan seseorang tidak mampu mengendalikan dan menenangkan pikirannya sendiri jika sedang tidak merokok. Akibatnya, seorang perokok akan terus-menerus mengkonsumsi rokok dan sulit untuk berhenti.
Pada beberapa kejadian, seorang perokok akan menjadi lebih mudah marah dan bertindak agresif ketika keinginannya untuk merokok tidak terpenuhi. Kondisi ini justru akan memicu rusaknya kehidupan keluarga dan sosial perokok akibat perilaku yang agresif dari si perokok.
Meski banyak perokok mengaku lebih tenang saat merokok akibat peningkatan hormone dopamine pada otak, yang terjadi sebenarnya adalah rasa stress dan cemas akibat tidak merokok justru jauh lebih besar dibanding perasaan tenang sesaat yang perokok rasakan.
Rokok juga sebenarnya bukanlah cara untuk meredakan stress yang benar. Sebenarnya tindakan terus merokok untuk meredakan stress ini adalah tindakan pelarian dari masalah dan bukannya penyelesaian masalah.
Sebuah studi melaporkan bahwa seseorang yang berhenti merokok selama enam minggu terus-menerus justru mengalami peningkatan kualitas kehidupan dibanding saat masih kecanduan merokok. Seseorang yang berhenti merokok juga merasa hidupnya lebih bahagia dibanding saat masih merokok.
Gejala Gangguan Depresi perokok
Meski belum diketahui dengan jelas apakah depresi muncul setelah seseorang merokok atau justru merupakan kondisi yang ingin dihilangkan seorang perokok dengan merokok, namun sebuah studi menunjukkan bahwa 30% perokok dewasa mengalami depresi.
Bahkan, kejadian depresi lebih banyak dialami oleh perokok perempuan di usia muda. Beberapa gejala yang menyertai depresi ini seperti:
- Perubahan hormone dopamine
Akibat meningkat drastisnya hormone dopamine pada otak, justru menyebabkan seorang perokok tidak dapat lagi merasakan ketenangan seperti yang ia harapkan.
Mood seorang perokok mudah naik turun seperti merasa tenang saat merokok kemudian setelah berhenti merokok moodnya akan berubah agresif secara drastis.
Artikel ini hanya sebagai informasi kesehatan, bukan diagnosis medis. HonestDocs menyarankan Anda untuk tetap melakukan konsultasi langsung dengan dokter yang ahli dibidangnya.