Dilansir dari Kompas, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan bahwa sepanjang tahun 2015 terdapat 147 kasus anak yang menjadi korban kekerasan di sekolah, dengan total sebanyak 159 kasus di tahun 2014.
Diterima atau tidak, bullying dapat ditemukan hampir disetiap sekolah di Indonesia.
Bullying merupakan suatu bentuk tindakan yang mengintimidasi atau menindas orang yang lemah oleh satu individu maupun kelompok yang lebih kuat.
Dilihat dari tingkat pengulangan serta kekuatan yang tidak seimbang antara yang menindas dan yang ditindas, maka dapat dikatakan bahwa bullying tidak sama dengan konflik atau pertengkaran yang terjadi pada umumnya.
Dalam bullying, terdapat niat untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun secara emosional. Serta membuat korban mengalami rasa ketidaknyaman yang berkepanjangan.
Aksi penindasan yang dilakukan bermacam-macam, mulai dari menendang, menampar, tawuran, menjambak, memukul, membentak, meneriaki, memaki, menghina, mempermalukan, menolak, mencela, merendahkan, menghujat, mencibir, dan mengisolasi.
Hal yang paling parah adalah tindakan yang bernada pelecehan seksual.
Gangguan kesehatan jangka panjang yang terjadi pada korban
Tidak hanya ditampar, dihina, dan dipermalukan, ada beberapa anak korban bully yang harus merasakan gangguan kesehatan akibat dari pelecehan yang dilakukan. Respon “fight or flight” akan bekerja ketika seseorang yang sedang mengalami stress mendapatkan ancaman.
Keadaan ini akan menyebabkan otot-otot menegang, jantung berdebar kencang, dan tubuh melepaskan adrenalin dan kortisol. Kondisi seperti ini dapat melemahkan sistem imun tubuh yang nantinya akan menimbulkan berbagai masalah kesehatan.
Berikut ini adalah dampak yang disebabkan oleh bullying:
- Kecemasan (anxiety attack)
- Depresi
- Sakit punggung
- Sakit perut
- Cedera fisik seperti patah tulang, luka sobek, dan lain sebagainya
- Pusing dan kepala berkunang-kunang
- Mudah marah
Dari sakit kepala hingga kehilangan nafsu makan
Ketika seorang anak menjadi korban tindakan bullying, maka anak tersebut akan berpeluang tiga kali lipat untuk mengalami sakit kepala, sulit tidur, sakit perut dan mengompol, serta mengurangi nafsu makan. Tidak hanya itu, tindakan ini dapat merusak rasa percaya diri dan harga diri seseorang dalam jangka waktu yang cukup lama.
Selain itu, para pelaku bullying serta anak-anak yang menjadi korban berpeluang 6 kali lipat unutk mengompol, sekitar 4 kali lipat mengalami penurunan nafsu makan, dan tiga kali lipat kemungkinan mengidap sakit perut.
Bagi para korban yang mempunyai masalah kesehatan kronis seperti asma, kesulitan pendengaran, penglihatan, gangguan berbicara, atau masalah pencernaan dapat mengalami resiko yang lebih besar akibat dari aksi penindasan. Aksi bullying dapat memperburuk masalah kesehatan yang mereka miliki.
Penganiayaan yang terjadi tidak hanya mengakibatkan korban menderita luka fisik, tetapi juga mengalami gangguan kesehatan fisik yang susah untuk disembuhkan dalam waktu yang cukup lama setelah aksi penindasan terjadi.
Bullying bisa memicu gangguan jiwa
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh NICHD, meskipun pelaku dan korban bully sama-sama berpotensi mengalami risiko depresi dan kecemasan, anak yang menjadi korban bully memiliki peluang yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan jiwa yang sangat serius dan membutuhkan penanganan khusus.
Saat dibully, tubuh bereaksi seperti sedang melawan infeksi
Hingga saat ini, pengalaman bullying di masa kecil masih sulit untuk dijelaskan hubungannya dengan masalah kesehatan seseorang dalam jangka waktu yang panjang.
Dilansir dari The Conversation, sebuah penelitian menunjukan bahwa tingkat protein dalam darah (protein C-reaktif/CRP) yang dimiliki oleh para korban bullying dapat melawan infeksi, bahkan sampai usia dewasa muda.
Ketika respon tubuh bekerja dengan baik dalam melawan infeksi, bereaksi terhadap cedera, atau menanggapi kondisi kronis seperti arthritis, maka kadara CRP dalam darah termasuk tinggi.
Pada penelitian tersebut, ditunjukkan bahwa CRP dapa meningkat pada orang-orang yang pada masa kecilnya mengalami penganiayaan oleh orang dewasa. Kondisi ini menunjukkan bahwa tubuh akan menghasilkan reaski dalam cara yang mirip dengan “stress beracun” seperti ketika mengalami infeksi.
Pelaku bully juga terkena dampaknya
Terdapat studi lain yang meneliti tentang CRP pada anak-anak yang terlibat dalam bullying dengan berbagai peran baik diusia sekolah maupun dewasa.
Anak yang mengalami beberapa jenis bullying pada usia sekolah memiliki kadar CRP yang tinggi daripada yang lain. Pola yang sama juga ditemukan pada korban bullying saat dewasa dimana kadar CRP yang dimiliki pun meningkat dibandingkan dengan mereka yang sama sekali tidak terlibat daam bullying.
Sementara itu, para pelaku bully mengalami penurunan CRP saat dewasa. Penelitian memperkirakan bahwa rendahnya tingkat CRP pada mantan pelaku dapat melindungi mereka dari gejala peradangan. Efek dari bullying ternyata berdampak pula pada mekanisme tubuh yang berkaitan dengan respon fisiologis.
Perhatikan tanda-tandanya sekecil mungkin, dan jangan remehkan bully
Banyak orang tua dan guru yang mengabaikan gejala seperti sakit kepala dan sakit perut yang dialami anak.
Mereka mengganggap bahwa gejala tersebut hanya merupakan alasan untuk bolos sekolah, namun ada baiknya apabila gejala-gejala diatas ditangani secara serius sehingga tidak menuntun anak kepada masalah yang lebih serius.
Pemikiran bahwa bullying merupakan bagian dari masa tumbuh kembang anak harus diubah karena intimidasi dan penganiayaan berdampak besar pada kesehatan mental dan fisik anak.
Artikel ini hanya sebagai informasi kesehatan, bukan diagnosis medis. HonestDocs menyarankan Anda untuk tetap melakukan konsultasi langsung dengan dokter yang ahli dibidangnya.