Delusi merupakan gangguan mental dimana penderita tidak mampu membedakan kenyataan dan khayalan. Bahkan penderita delusi tetap meyakini apa yang dipikirkan meskipun sudah terbukti salah. Lalu apa yang menyebabkan terjadinya gangguan delusi? Simak penjelasan berikut.
Penyebab gangguan delusi
Belum diketahui pasti penyebab terjadinya gangguan delusi. Namun, ada beberapa faktor yang memicu terjadinya gangguan delusi, seperti genetik, biologis, lingkungan, dan psikologis.
Selain itu, terjadinya gangguan delusi, juga dapat terjadi karena stres, penyalahgunaan obat-obatan, serta mengonsumsi alkohol secara berlebihan. Penderita skizofrenia, penyakit parkinson, demensia, stroke, dan kelainan kromosom juga dapat menyebabkan gangguan delusi.
1. Genetik.
Jika memiliki keluarga yang mengalami gangguan delusi, maka kemungkinan Anda juga dapat mengalami gangguan yang sama.
2. Biologis.
Gangguan delusi juga dapat disebabkan gangguan pada lobus frontal (bagian otak untuk berpikir) dan lobus parietal (bagian otak untuk mengatur persepsi). Orang yang mengalami tumor otak dan penyakit gangguan otak lainnya, kemungkinan berisiko terkena gangguan delusi.
3. Lingkungan dan psikologis.
Stres berlebih disertai perilaku mengonsumsi alkohol berlebihan atau menyalahgunakan obat-obatan juga dapat menyebabkan gangguan delusi. Selain itu, kesepian dan terisolasi juga dapat menyebabkan gangguan delusi.
Gejala gangguan delusi
Gangguan delusi biasanya ditandai dengan mudah marah dan emosi tidak stabil. Gejala ini biasanya muncul dalam beberapa bulan, tetapi juga bisa bertahan lebih lama dengan datang dan pergi. Gangguan delusi juga biasanya disertai dengan halusinasi.
Penderita delusi biasanya memikirkan sesuatu yang tidak sesuai kenyataan.
Hal yang dialami penderita gangguan delusi juga berbeda-beda. Berikut beberapa hal yang dialami oleh penderita delusi, antara lain:
1. Erotomania.
Penderita delusi akan merasa orang lain jatuh cinta kepadanya. Orang yang dicintai biasanya adalah orang yang penting atau terkenal. Penderita biasanya terobsesi, sehingga menguntit dan berusaha kontak langsung dengan orang yang ada di pikirannya.
2. Grandiose.
Penderita delusi merasa memiliki kekuasaan, kecerdasan, dan kepercayaan yang tinggi. Bahkan penderita delusi merasa dirinya memiliki talenta hebat untuk melakukan sesuatu yang penting. Penderita juga memiliki keyakinan bahwa dirinya memiliki kemampuan spesial dan mampu menjadi publik figur yang hebat.
3. Jealous.
Penderita delusi merasa pasangannya tidak setia kepadanya, tanpa didukung fakta yang jelas.
4. Persecutory.
Penderita delusi merasa dia diperlakukan tidak adil. Bahkan penderita juga merasa dirinya terancam, dimata-matai, dan ada orang yang berusaha berbuat jahat atau berencana mencelakainya.
5. Somatic.
Penderita delusi meyakini dirinya memiliki kecacatan atau menderita suatu penyakit.
6. Mixed.
Penderita delusi mengalami du jenis gejala delusi atau lebih.
Cara menangani gangguan delusi
Gangguan delusi bisa ditangani dengan melakukan terapi kejiwaan, seperti terapi perilaku kognitif dan terapi keluarga. Selain itu, gangguan delusi juga dapat ditangani dengan pemberian obat antipsikotik.
Terapi kejiwaan dilakukan untuk mengurangi stres dan membantu penderita berinteraksi dengan keluarga maupun lingkungan. Pemberian obat-obatan digunakan untuk menekan hormon dopamin dan serotonin yang dapat menyebabkan depresi.
Delusi terjadi saat otak memproses suatu hal yang tidak terjadi. Namun, penderita meyakini bahwa kejadian tersebut benar-benar terjadi. Belum diketahui, apa penyebab pasti terjadinya gangguan delusi. Namun ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan delusi, yaitu genetik, biologis, lingkungan, dan psikologis.
Delusi merupakan gejala psikologi yang berbeda dengan psikopat. Penderita gangguan delusi dan psikologi biasanya berperilaku yang membahayakan dirinya, sedangkan psikopat cenderung membahayakan orang lain.
Jika Anda mengetahui orang terdekat mengalami gangguan delusi, sebaiknya jangan dihindari. Segera konsultasikan ke dokter untuk mendapatkan penanganan sesegera mungkin.
Artikel ini hanya sebagai informasi kesehatan, bukan diagnosis medis. HonestDocs menyarankan Anda untuk tetap melakukan konsultasi langsung dengan dokter yang ahli dibidangnya.