Ibu hamil atau menyusui tidak boleh sembarang minum obat, apa pun kondisinya. Pasalnya, minum obat secara asal-asalan dan tanpa rekomendasi dokter bisa memberikan risiko bagi janin atau bayi. Sebelum minum obat, sebaiknya pahami dulu pembagian kategori obat untuk ibu hamil dan menyusui berikut ini.
Kategori obat untuk ibu hamil dan menyusui
Pemberian obat pada ibu hamil dan menyusui dapat mempengaruhi efek samping pemberian obat tersebut pada janin. Keberadaan obat pada ibu hamil dapat dilihat dari 3 kompartemen, yaitu kompartemen ibu, kompartemen plasenta dan kompartemen fetal.
1. Kompartemen ibu
Pada ibu hamil tumbuh unit fetoplacental dalam uterus. Hormon plasenta mempengaruhi fungsi traktus digestivus dan motilitas usus. Begitu pula filtrasi glomerulus meningkat.
Selain itu, resorpsi inhalasi alveoli paru juga terpengaruh. Resorpsi obat pada usus ibu hamil lebih lama, eliminasi obat lewat ginjal lebih cepat dan resorpsi obat inhalasi pada alveoli paru bertambah.
Pada awal trimester 2 dan 3 akan terjadi hydra-emia, volume darah meningkat sehingga kadar obat relatif turun. Kadar albumin relatif menurun sehingga pengikat obat bebas berkurang. Maka obat bebas dalam darah ibu meningkat.
2. Kompartemen plasenta
Pada unit fetoplacental terjadi pula filtrasi obat. Plasenta sebagai unit semipermeabel dapat mengurangi atau mengubah obat pada sawar plasenta.
3. Kompartemen fetal
Begitu pula obat yang masuk sirkulasi fetal, kadar atau dosis obat dapat berpengaruh baik ataupun buruk pada organ vital janin. Hal ini dapat meningkatkan kelainan organ atau pertumbuhan janin intrauterin.
Jenis obat, dosis yang tinggi, dan lama paparannya akan berpengaruh teratogenik (perkembangan tidak normal yang mengakibatkan kerusakan) pada janin, terutama trimester 1. Maka dari itu, perlu dipikirkan mengenai farmakokinetik obat pada ibu hamil dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan janin dan efek negatifnya.
Definisi faktor risiko
Definisi faktor risiko ini digunakan oleh FDA di Amerika Serikat, badan yang setara dengan BPOM di Indonesia. Kategori-kategori ini tidak menyiratkan peningkatan perkembangan risiko dari A ke X.
Obat-obatan dikategorikan berdasarkan risiko efek samping reproduksi dan perkembangan serta pertimbangan risiko dan manfaat. Obat-obatan dalam kategori D, X, dan dalam beberapa kasus C, dapat menimbulkan risiko yang sama, tetapi dapat dikategorikan secara berbeda berdasarkan pertimbangan risiko versus manfaat yang berbeda.
Kategori obat untuk ibu hamil dan menyusui adalah sebagai berikut:
1. Kategori A
Penelitian terkontrol pada wanita gagal menunjukkan risiko pada janin pada trimester pertama (dan tidak ada bukti risiko pada trimester selanjutnya), dan kemungkinan bahaya janin tetap kecil.
2. Kategori B
Baik penelitian reproduksi hewan belum menunjukkan risiko janin tetapi tidak ada penelitian terkontrol pada wanita hamil atau penelitian reproduksi hewan menunjukkan efek buruk (selain penurunan kesuburan) yang tidak dikonfirmasi dalam penelitian terkontrol pada wanita pada trimester pertama (dan tidak ada bukti risiko pada trimester selanjutnya).
3. Kategori C
Baik penelitian pada hewan mengungkapkan efek merugikan pada janin (teratogenik atau embriosidal atau lainnya) dan tidak ada penelitian terkontrol pada wanita atau penelitian pada wanita dan hewan tidak tersedia. Obat-obatan harus diberikan hanya jika potensi manfaatnya sesuai dengan potensi risiko pada janin.
4. Kategori D
Ada bukti positif dari risiko janin manusia, tetapi manfaat dari penggunaan pada wanita hamil dapat diterima meskipun ada risikonya. Misalnya, jika obat diperlukan dalam situasi yang mengancam jiwa atau untuk penyakit serius di mana obat yang lebih aman tidak dapat digunakan atau tidak efektif.
5. Kategori X
Penelitian pada hewan atau manusia telah menunjukkan kelainan pada janin atau terdapat bukti risiko janin berdasarkan pengalaman manusia atau keduanya, dan risiko penggunaan obat pada wanita hamil jelas lebih besar daripada manfaat yang mungkin didapat. Obat ini dikontraindikasikan pada wanita yang sedang atau mungkin hamil.
Artikel ini hanya sebagai informasi kesehatan, bukan diagnosis medis. HonestDocs menyarankan Anda untuk tetap melakukan konsultasi langsung dengan dokter yang ahli dibidangnya.