Data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menyebutkan sekitar 338.000 kasus HIV positif ditemukan pada tahun 2019. Layaknya fenomena gunung es, angka ini mungkin hanyalah sebagian dari jumlah penderita HIV yang sebenarnya tapi tidak dilaporkan. Bahkan dari jumlah tersebut, hanya 118.000 orang yang patuh minum obat ARV. Padahal, obat HIV yang satu ini penting untuk membantu meningkatkan kekebalan tubuh penderita.
Apa itu terapi ARV?
ARV merupakan singkatan dari antiretroviral. Maksud dari obat ARV adalah pengobatan untuk mengatasi infeksi akibat retrovirus, terutama HIV.
Sedangkan terapi antiretroviral (ART) adalah kombinasi dari beberapa obat ARV yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan dan penyebaran virus HIV di dalam tubuh.
Berkat obat HIV alias ARV, jumlah viral load (partikel virus) dalam tubuh diharapkan akan semakin berkurang hingga ke tingkat yang tidak terdeteksi. Semakin rendah angka viral load, maka semakin kecil pula penderita menularkan virus ke orang lain.
Baca selengkapnya: Memahami Masa Inkubasi HIV AIDS dan Window Period
Melansir dari laman resmi Kemenkes RI, penderita HIV tidak akan bisa normal sebagaimana orang sehat lainnya. Namun kabar baiknya, pertumbuhan virus HIV tetap dapat ditekan dengan minum obat HIV secara teratur. Itulah sebabnya, penderita HIV harus minum obat ARV seumur hidup.
Pengobatan HIV juga dapat membantu meningkatkan kualitas hidup penderita. Berkat obat ARV, penderita dapat hidup dengan lebih sehat dan mengurangi risiko terkena penyakit penyerta lainnya.
Sebaliknya jika penderita berhenti minum obat HIV di tengah-tengah masa pengobatan, virus HIV tidak akan terbunuh seluruhnya. Akibatnya, virus bisa muncul kembali (rebound) dan menyebabkan pengobatan gagal.
Siapa yang membutuhkan obat ARV?
Pengobatan ARV perlu diberikan sesegera mungkin. Bila cepat diberikan dan tepat sasaran, obat HIV tersebut dapat membantu menurunkan jumlah viral load dan risiko komplikasi pada penderita.
Obat ARV lebih utama ditujukan untuk penderita HIV/AIDS, baik yang baru stadium awal atau sudah mencapai stadium akhir. Begitu juga jika Anda mengidap HIV dan mengalami salah satu kondisi berikut ini:
- Sedang hamil dan menyusui
- Penderita HIV terkait infeksi atau kanker
- Setelah berhubungan seks dengan orang yang bukan penderita HIV
- Anak-anak yang menderita HIV
Pasalnya, Anda rentan menularkan virus HIV pada orang lain dengan berbagai cara. Mulai dari proses kehamilan, menyusui, hingga berhubungan seksual.
Jenis-jenis obat HIV ARV
Mengobati HIV melibatkan kombinasi dari berbagai jenis obat-obatan. Berikut ini sejumlah kategori obat HIV ARV:
1. Nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs)
Obat HIV jenis NRTIs memblokir enzim bernama viral reverse transcriptase, yang dibutuhkan bagi virus HIV untuk mereplikasi. Tanpa adanya enzim ini, virus penyebab HIV tentu tidak dapat berkembang biak dan memperbanyak diri dalam tubuh.
Contoh obat ARV yang tergolong NRTI antara lain:
- abacavir (Ziagen)
- emtricitabine (Emtriva)
- lamivudine (Lamivudine RBX, Zefix, Zetlam)
- stavudine (Zerit, Stavudin)
- tenofovir (Viread)
- zidovudine (Retrovir)
2. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs)
Cara kerja obat ARV jenis NNRTI sebetulnya sama dengan NRTI. Bedanya hanya terletak pada jenis enzim yang diblokir.
Contoh obat HIV golongan NNRTI adalah:
- delavirdine (Rescriptor)
- doravirine (Pifeltro)
- efavirenz (Sustiva)
- etravirine (Intelence)
- nevirapine (Viramune)
- rilpivirine (Edurant)
3. Protease inhibitors (PIs)
Obat HIV jenis PI bertugas dengan cara menghambat enzim HIV protease. Tanpa enzim tersebut, virus HIV akan semakin sulit bereplikasi dalam tubuh.
Jenis-jenis obat ARV yang tergolong PI adalah:
- atazanavir (Reyataz)
- darunavir (Prezista)
- fosamprenavir (Lexiva, Telzir)
- indinavir (Crixivan)
- lopinavir (Kaletra)
- ritonavir (Norvir)
- saquinavir (Invirase)
- tipranavir (Aptivus)
4. Entry inhibitors
Untuk menembus sel kekebalan, virus HIV harus menyatu dengan reseptor sel agar bisa menginfeksi. Nah, obat ARV jenis entry inhibitors berfungsi untuk mencegah proses tersebut.
Pengobatan ARV ini biasanya digunakan ketika perawatan lainnya tidak berhasil.
Contoh obat HIV golongan entry inhibitors adalah:
- enfuvirtide (Fuzeon)
- maraviroc (Selzentry)
5. Integrase inhibitors
Virus HIV memanfaatkan protein integrase untuk mengirimkan materi genetik ke dalam sel target. Untuk menghambat proses ini, dibutuhkan obat ARV jenis integrase inhibitors.
Para ahli masih terus meneliti keampuhan obat HIV ini, namun jenis obat yang sudah disetujui untuk digunakan antara lain:
- dolutegravir (Tivicay)
- elvitegravir (Vitekta)
- raltegravir (Isentress)
Berbagai efek samping obat HIV ARV
Sampai saat ini, ARV merupakan satu-satunya obat HIV yang diandalkan untuk meringankan gejala. Pengobatan ini juga dapat membantu meningkatkan kualitas hidup hingga menurunkan risiko komplikasi dan penularan HIV pada orang lain.
Sama seperti jenis obat lainnya, obat ARV juga memiliki sejumlah efek samping yang perlu diperhatikan. Efek samping ini bervariasi dari ringan sampai parah, tergantung jenis obat dan kondisi kesehatan pasien itu sendiri.
Berikut ini berbagai efek samping obat HIV berdasarkan jenis-jenis ARV:
1. Nafsu makan berkurang
Penderita HIV cenderung mengalami penurunan nafsu makan, terutama setelah minum obat abacavir atau zidovudine. Hal inilah yang sering kali menjadi alasan kenapa tubuh penderita HIV tampak kurus daripada sebelumnya.
Solusi:
- Gunakan prinsip 'makan sedikit tapi sering' daripada makan 3 kali sehari dengan porsi normal.
- Minum smoothies atau suplemen untuk membantu memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral dalam tubuh.
- Minta rekomendasi dokter mengenai obat penambah nafsu makan.
2. Lipodystrophy
Lipodystrophy adalah kondisi yang menyebabkan seseorang mengalami penambahan atau penurunan pada area tubuh tertentu. Gangguan ini menyebabkan penderita tidak percaya diri dan selalu cemas.
Efek samping obat HIV ini biasanya diakibatkan oleh golongan NRTI dan protease inhibitors.
Solusi:
- Olahraga rutin dapat membantu menurunkan lemak di seluruh tubuh.
- Obat injeksi tesamorelin (Egrifta) dapat membantu mengurangi kelebihan lemak di perut pada penderita yang minum obat HIV.
- Operasi liposuction, guna menghilangkan lemak di area tubuh tertentu.
- Obat diabetes, dapat membantu mengurangi lemak di perut. Namun tetap harus dikonsultasikan ke dokter terlebih dahulu.
3. Diare
Obat HIV juga bisa menyebabkan diare pada beberapa penderita. Terutama setelah mengonsumsi obat antibiotik, golongan NRTI, dan protease inhibitors.
Solusi:
- Batasi konsumsi makanan berlemak, pedas, dan produk susu.
- Batasi konsumsi makanan tinggi serat tak larut, seperti sayuran mentah, sereal gandum utuh, dan kacang-kacangan.
- Minum obat diare seperti loperamide (Imodium). Tanyakan lebih lanjut pada dokter atau apoteker mengenai hal ini.
4. Kelelahan
Kelelahan adalah salah satu efek samping obat HIV yang paling sering, terutama setelah mengonsumsi obat zidovudine atau efavirenz. Gampang capek juga bisa menjadi gejala HIV fase awal.
Solusi:
- Konsumsi makanan bergizi untuk mendongkrak energi
- Olahraga rutin
- Hindari merokok dan minum alkohol
- Istirahat yang cukup di malam hari dan jangan terlalu lama tidur siang
5. Kolesterol dan trigliserida tinggi
Sejumlah obat HIV dapat menyebabkan kadar kolesterol dan trigliserida meningkat dari biasanya. Biasanya terjadi setelah mengonsumsi obat ARV golongan NRTI, NNRTI, protease inhibitor, atau integrase inhibitor.
Solusi:
- Hindari merokok
- Olahraga rutin
- Kurangi asupan lemak dari makanan
- Perbanyak konsumsi ikan dan makanan kaya omega-3 lainnya, misalnya kacang kenari, biji rami, dan minyak canola
- Cek kadar kolesterol dan trigliserida secara rutin
- Minum obat statin atau obat penurun kolesterol lainnya dari dokter
6. Perubahan mood, depresi, dan kecemasan
Perubahan suasana hati, termasuk depresi dan kecemasan, bisa menjadi efek samping pengobatan HIV yang mengganggu. Biasanya muncul akibat konsumsi efivarenz, rilpivirine, atau dolutegravir.
Hati-hati, hal ini juga termasuk gejala HIV yang perlu diwaspadai.
Solusi:
- Hindari konsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang.
- Konsultasikan dengan dokter mengenai konseling atau obat antidepresan untuk membantu meredakan efek samping.
7. Mual dan muntah
Hampir semua obat HIV alias ARV menyebabkan sensasi mual dan muntah.
Solusi:
- Gunakan prinsip "makan sedikit tapi sering" daripada makan 3 kali sehari dengan porsi normal.
- Makan makanan dengan tekstur lunak, seperti bubur atau nasi tim.
- Hindari makanan berlemak atau makanan pedas.
- Konsultasikan ke dokter mengenai obat antiemetik untuk mengendalikan mual.
8. Ruam
Hampir semua obat ARV dapat memicu ruam pada kulit, biasanya muncul setelah mengonsumsi obat golongan protease inhibitor, NNRTI, hingga integrase inhibitor.
Ruam yang cukup parah juga bisa menjadi tanda reaksi alergi atau kondisi serius lainnya. Segera konsultasikan ke dokter jika Anda mengalami sesak napas, demam, hingga muncul ruam dan lepuhan di mulut, hidung, dan mata.
Solusi:
- Gunakan pelembap setiap hari
- Mandi air dingin guna membantu menenangkan sekaligus melembapkan kulit
- Gunakan sabun dan deterjen dengan kandungan ringan dan anti-iritasi
- Pakai baju berbahan katun
- Minum obat antihistamin
9. Masalah tidur
Obat ARV golongan NRTI, NNRTI, protease inhibitor, dan integrase inihibitor dapat memicu masalah tidur pada sebagian penderita HIV.
Solusi:
- Rajin olahraga
- Atur jadwal tidur setiap malam dan hindari terlalu lama tidur siang
- Atur suasana kamar tidur agar terasa lebih nyaman
- Rilekskan tubuh sebelum tidur dengan mandi air hangat atau latihan pernapasan
- Hindari konsumsi minuman berkafein atau stimulan lainnya beberapa jam sebelum tidur
10. Efek samping lainnya
Selain sembilan efek samping di atas, obat HIV juga dapat menimbulkan:
- Reaksi alergi, seperti demam, mual, dan muntah
- Peradarahan
- Penurunan kekuatan tulang
- Penyakit jantung
- Hipertensi dan diabetes
- Kelebihan asam laktat (asidosis laktat)
- Kerusakan pada ginjal, hati, atau pankreas
- Sensasi mati rasa, terbakar, atau nyeri di tangan atau kaki akibat gangguan saraf
Amankah ARV untuk anak dengan HIV/AIDS (ADHA) usia 3 tahun?
Ya, obat HIV berupa ARV aman diberikan untuk anak-anak di bawah usia 3 tahun yang terinfeksi HIV. Hal ini dilakukan guna mencegah risiko kematian pada anak-anak dengan HIV/AIDS (ADHA).
Namun, pengobatan pada kelompok usia ini cukup menantang karena tidak semua obat cocok digunakan. Penggunaan ART lebih baik diberikan segera setelah kelahiran bayi untuk mencegah infeksi lebih lanjut.
Pengobatan HIV untuk bayi dan anak-anak dapat menggunakan lopinavir atau ritonavir, tapi juga disesuaikan lagi dengan saran doter. Tes viral load tetap perlu dilakukan untuk memantau jumlah virus HIV dalam darah.
Baca juga: Bisakah Obat HIV AIDS Menyembuhkan?
Artikel ini hanya sebagai informasi kesehatan, bukan diagnosis medis. HonestDocs menyarankan Anda untuk tetap melakukan konsultasi langsung dengan dokter yang ahli dibidangnya.