Siapa sih yang tidak tahu apa itu “panu”an? Bercak-bercak putih di kulit yang terasa sangat gatal, pasti sangat mengganggu aktivitas dan penampilan Anda. Dalam istilah medis, panu dikenal dengan istilah Pitiriasis versikolor, yang mana penyakit kulit ini disebabkan oleh Malassezia Furfur, yaitu suatu jenis jamur yang tinggal dan berkembang biak pada tubuh manusia.
Panu sering muncul pada daerah-daerah lipatan yang lembab, seperti leher, persendian atau bisa juga pada daerah punggung atau wajah. Karakteristik yang khas dari panu adalah timbul bercak putih atau kecoklatan yang kadang-kadang gatal bila berkeringat. Bisa pula tanpa keluhan gatal sama sekali, tetapi penderita mengeluh karena malu oleh adanya bercak tersebut.
Pada orang kulit berwarna, kelainan yang terjadi tampak sebagai bercak Hipopigmentasi (warna kulit lebih terang dibanding kulit sekitarnya), tetapi pada orang yang berkulit pucat maka kelainan bisa berwarna kecoklatan ataupun kemerahan. Di atas kelainan kulit tersebutgt;dapat skuama (sisik halus).
Penyakit panu lebih sering terjadi pada daerah tropis dan mempunyai tingkat kelembababan yang tinggi seperti di Indonesia. Walaupun kelainan kulit lebih terlihat pada orang berkulit gelap, namun angka kejadian penyakit panu sama di semua ras. Beberapa penelitian mengemukakan angka kejadian pada pria dan wanita dalam jumlah yang seimbang.
Saat didiagnosis di dokter, biasanya panu sudah mencapai tahap kronik. Hal ini disebabkan karena masyarakat tidak menyadari bahwa mereka memiliki panu, hingga panu tersebut berkembang hingga ke tahap tertentu dan menyebabkan gatal yang teramat sangat.
Apa yang menyebabkan seseorang “panu”an?
Panu disebabkan oleh kurangnya Hygiene seseorang. Walaupun tingkat kebersihan berpengaruh besar terhadap tumbuhnya panu, tapi ada faktor lain yang dapat memperparah atau menjadi pemicu timbulnya panu, yaitu :
- Memiliki kulit berminyak dan berkeringat
- Memiliki tingkat kekebalan tubuh yang rendah
- Tinggal di daerah yang lembab dan bersuhu hangat
- Berusia remaja atau awal 20an
- Mengalami perubahan hormon
- Suhu udara yang panas menyebabkan keringat banyak keluar, menyebabkan baju pun terkena air keringat, hal ini bisa memicu pertumbuhan jamur dengan cepat
- Sering menggunakan handuk milik orang lain. Ini karena menggunakan handuk orang bisa mempercepat terularnya penyakit ini
Serupa tapi tidak sama!
Ada beberapa penyakit kulit yang sepintas terlihat seperti panu, tapi sejatinya penyakit kulit tersebut tidak disebabkan oleh jamur. Karena penyebabnya berbeda, tentu saja penanganannya pun berbeda. Yang termasuk penyakit-penyakit kulit tersebut adalah :
-
Vitiligo
Vitiligo adalah penyakit kelainan pigmen yang menyebabkan kulit mengalami Hipopigmentasi. Sepintas Vitiligo sangat mirip dengan panu. Yang membedakan keduanya adalah Vitiligo tidak gatal, dan bercak putih pada Vitiligo tampak lebih luas dan menyatu, sedangkan pada panu, lesi lebih kecil-kecil dan gatal.
- Morbus Hansen tipe T Morbus Hansen tipe T adalah salah satu jenis pada penyakit kusta. Pada tipe ini, kelainan kulit tampak mirip dengan kelaianan kulit pada panu. Perbedaannya adalah pada penyakit kusta, bercak putih terasa kebas dan adanya riwayat kontak dengan pasien kusta dalam jangka waktu yang cukup lama.
Oleh karena itu, penting untuk memastikan kelainan kulit mana yang Anda derita, karena walaupun tampak sama, tetapi bisa saja kelainan kulit tersebut sangat berbeda penanganannya.
Penanganan apa yang dapat dilakukan untuk mengobatai Panu?
Pertama Anda bisa menggunakan obat-obatan yang ada di pasaran untuk menghilangkan jamur pada kulit Anda. Pengobatan jamur biasanya memakan waktu yang lama. Oleh karena itu diharapkan Anda untuk bersabar dan tidak terlalu terburu-buru.
Jika obat Anti jamur yang dijual dipasaran, silahkan pergi ke dokter spesialis kulit untuk mengegakan diagnosis dengan melakukan tes kerok dengan larutan KOH 20% atau menggunakan tes kulit dengan menggunakan lampu wood.
Jika dengan pemeriksaan sudah ditegakan diagnosis tentang jamur dan panu tidak mau hilang dengan penggunaan salep panu yang dijual di pasaran, maka pengobatan dengan resep dokter dapat dilakukan. Pengobatan dapat dilakukan secara topikal dan sistemik.
Topikal : terutama ditujukan untuk lesi yang minimal
-
Salep Whitfield
yang mengandung asam salisilat (3-6% dan asam benzoat (6-12%)
-
Selenium sulfid
2,5% yang dioleskan pada lesi, lalu dibiarkan selama 15-30 menit kemudian dibersihkan. Dilakukan 2-3 kali seminggu selama 2-4 minggu. Selenium sulfid ini memiliki kekurangan yaitu bau yang kurang seap serta kadang bersifat iritatif, sehingga menyebabkan pasien kurang taat berobat
-
Obat golongan azol
klotrimazol 1%, mikonazol nitrat 2%, sulkonazol 1%, ketokonazol 2%, ekonazol nitrat 1%, bifonazol 2,5% krim, tiokonazol 1%, oksikonazol 1% dan sertakonazol. Dioleskan 1-2 kali seahri selama 2-3 minggu
Sistemik : digunakan pada kondisi tertentu yaitu adanya resitensi terhadap obat topikal, lesi yang luas dan sering kambuh.
-
Ketokonazol
dengan dosis 200 mg sehari selama 7-10 hari atau 400 mg dosis tunggal.
-
Itrakonazol
dengan dosis 200 mg per hari secara oral selama 5-7 hari
Pengobatan harus diteruskan 2 minggu setelah flouresensi negatif dengan pemeriksaan lampu wood dan sediaan langsung negatif. Untuk pencegahan, dapat dilakukan dengan selalu menjaga Higienitas perseorangan, hindari kelembaban kulit dan menghindari kontak langsung dengan penderita.
Respon terhadap pengobatan umunya baik, tetapi pengobatan yang bersifat permanen sulit dicapai, karena penyakit ini mempunyai tingkat kekambuhan yang tinggi. Hal ini banyak dipengaruhi oleh faktor predisposisi yang pada umumnya sulit dihilangkan.
Malam dok, saya mau tanya kalau gejala penyakit jantung rematik apa saja ya? apa bisa didiagnosa dengan anamnesa, jika bisa, berapa persen tingkat keakuratannya terhadap kemungkinan menderitanya?