Selama perokok berat sering dikaitkan dengan risiko gangguan psikis yang mengarahkan pada terjadinya skizofrenia. Tetapi apakah dengan merokok justru bisa memicu ataukah malah mengobati gejala skizofrenia?
Hal ini masih terus menjadi perdebatan panas di kalangan para ahli karena beberapa hal yang akan dibahas dalam artikel ini.
Gejala Skizofrenia Disebut Bisa Diobati dengan Merokok
Sebuah studi pada tahun 2014 dari peneliti Washington University School of Medicine menyatakan bahwa seseorang yang memiliki penyakit mental dalam stadium yang berat seperti skizofrenia adalah lima kali lipat lebih mungkin dialami oleh peroko berat.
Kecenderungan tersebut selanjutnya dipelajari oleh sebuah tim ilmuwan gabungan dari mancanegara sehingga dapat dijelaskan bahwa kemungkinan kandungan nikotin yang ada di dalam rokok mampu bekerja memperbaiki area otak yang mengalami kerusakan akibat gejala skizofrenia.
Kemudian mereka melakukan percobaan yang disebut hypofrontality. Diman hypofrontality ini merupakan penurunan aktivitas korteks prefrontal otak yang menjurus ke arah masalah kognitif misalnya saja gangguan memori serta kesulitan mengambil keputusan.
Percobaan tersebut diperkuat dengan pengamatan terhadap tikus lab oleh ilmuwan dari Institut Pasteur di Paris dari University of Colorado. Dari pengamatan tersebut ditemukan bwha mutasi genetik CHRNA5 juga berkaitan dengan fungsi lobus frontal selain dihubungkan dengan peningkatan skizofrenia.
Terjadinya gangguan pada lobus frontal berkaitan dengan masalah penalaran, kontrol diri dan emosi serta pemecahan masalah. Adanya gangguan di dua bagian otak inilah yang menjadi pemicu masalah gejala psikologis sehingga mengacu skizofrenia misalnya waham, delusi dan halusinasi.
Peneliti menyatakan bahwa nikotin membalikkan masalah ini seperti pada tius. Sebab nikotin berpengaruh pada reseptor di daerah otak tertentu dalam menjalankan fungsi kognitif yang sehat.
Saat tikus lab menunjukkan gejala skizofrenia diberikan nikotin dosis harian sehingga menunjukkan aktivitas otak yang lambat dan berhasil menunjukkan peningkatan dalam dua hari. Dalam waktu satu minggu aktivitas otak tikus tersebut kembali normal.
Dari percobaan tersebut peneliti menduga, nikotin dapat bekerja meawal efek samping dari penggunaan obat-obatan skizofrenia ataupun penurunan fungsi kognitif otak yang diakibatkan oleh cacat genetik dari skizofrenia tersebut.
Rokok Dianggap Memicu Munculnya Gejala Skizofrenia
Studi lain menyebutkan bahwa orang yang merokok dapat mengalami peningkatan risiko tiga kali lipat mengalami gejala skizofrenia dibandingkan mereka yang tidak merokok.
Dari penelitian yang dilakukan kepada 15 perokok dan 273 bukan perokok dapat ditemukan bahwa 57% pasien mengalami gejala skizofrenia merupakan perokok. Selain itu ditemukan pula bahwa perokok berat memunculkan gejala skizofrenia rata-rata satu tahun lebih cepat dibandingkan bukan perokok.
Penemuan tersebut tentu saja mematahkan keraguan teori yang menyebutkan hubungan merokok dan psikosis itu ada sebab pasien skizofrenia memakai rokok sebagai cara pengobatan diri sendiri.
Peneliti juga menyebutkan bahwa orang-orang tersebut dulu mengembangkan kebiasaan merokok rutin lalu menunjukkan gejala skizofrenia sebagai akibat dari merokok. Peneliti menduga, dopamin memainkan peran penting pada gejala skizofrenia.
Sebab kelebihan dopamin menjadi faktor biologis terbaik yang memicu skizofrenia. Kemungkinan nikotin dapat meningkatkan pelepasan dopamin yang memicu munculnya gejala skizofrenia.
Lalu Pendapat Mana yang Benar?
Untuk menentukan kepastian keterkaitan antara merokok dengan gejala skizofrenia masih terus dilakukan penelusuran. Apapun hasilnya tetap saja kebiasaan merokok harus diwaspadai karena bisa mungkin memicu munculnya gejala skizofrenia dan psikotik.
Sehingga merokok tidak bisa dianggap sepele karena dampaknya bisa lebih parah menimbulkan penyakit berbahaya. Para peneliti juga mendesak supaya para profesional kesehatan mental maupun tenaga kesehatan yang menangani pasien skizofrenia untuk mendorong mereka supaya berhenti merokok sebagai upaya pencegahan.
Artikel ini hanya sebagai informasi kesehatan, bukan diagnosis medis. HonestDocs menyarankan Anda untuk tetap melakukan konsultasi langsung dengan dokter yang ahli dibidangnya.