Memiliki pikiran negatif dalam menjalani kehidupan sudah bukan hal yang asing lagi. Anda terkadang secara otomatis memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi ketika melihat sesuatu atau mengalami masalah.
Meskipun bukan hal yang baru untuk dialami, namun, tahukah Anda bahwa pola pikir yang bersifat negatif dapat mempengaruhi emosi dan perilaku?
Mungkin sebagian orang yang merasa biasa saja dengan hal ini. Namun, pola pikir seperti ini memang dapat membawa dampak buruk dalam kehidupan seseorang.
Sebagai contoh, seseorang yang mengalami perceraian akan berpikir bahwa dialah akar permasalahan pada pernikahan mereka. Dia akan berpikir bahwa dirinya tidak menjadi pasangan yang baik dan kemudian tidak pantas untuk membangun suatu hubungan. Pikiran ini akan membuatnya putus asa, yang membuatnya mengasingkan diri dari lingkungan sekitarnya.
Jika kondisi ini tidak segera ditangani, maka dia akan terus berada dalam pola pikir, emosi, dan perilaku yang negatif.
Untuk mengatasi hal ini, seseorang dapat dibantu dengan menjalani terapi perilaku kognitif.
Melalui terapi ini, seseorang yang memiliki pola pikir negatif akan belajar bagaimana cara berpikir positif, sehingga akan membawanya untuk menunjukan emosi dan perilaku yang juga positif.
Terapi perilaku kognitif bisa dilakukan secara personal, baik dengan bertemu langsung, melalui panggilan telepon, maupun video.
Selain itu, terapi ini juga bisa dilakukan secara berkelompok, bisa bersama dengan anggota keluarga atau orang yang memiliki masalah yang sama. Pada kondisi tertentu, pasien dapat menjalani terapi secara online melalui komputer.
Indikasi terapi perilaku kognitif
Pasien dari segala usia yang mengalami kondisi berikut ini dapat menjalani terapi perilaku kognitif:
- Depresi
- Fobia
- Gangguan bipolar
- Gangguan kecemasan
- Gangguan makan
- OCD
- PTSD
- Gangguan tidur
- Gangguan kecemasan terhadap penyakit atau hipokondria
- Skizofrenia
- Kebiasaan berjudi
- Ketergantungan terhadap rokok atau minuman yang mengandung alkohol
- Penyalahgunaan NAPZA
- Rasa marah yang tidak dapat dikontrol
- Masalah dalam hubungan atau pernikahan
- Rasa tidak percaya diri
Peringatan terapi perilaku kognitif
Ketika pasien menjalani terapi perilaku kognitif, biasanya mereka akan menangis atau marah. Hal ini terjadi karena selama terapi perasaan, pengalaman, dan emosi yang tidak menyenangkan akan digali secara mendalam oleh terapis.
Pada terapi ini, pasien diharuskan untuk memasuki keadaan atau kondisi yang biasanya dihindari olehnya dengan menggunakan teknik tertentu.
Beberapa teknik yang diterapkan seperti dengan memberikan motivasi pada pasien yang takut terhadap ular untuk memegang hewan melata tersebut. Atau, pada pasien yang menderita gangguan kecemasan, dia akan dimotivasi untuk berbicara di depan umum.
Selama proses terapi berlangsung, maupun ketika selesai, pasien akan selalu diminta untuk berpartisipasi didalamnya.
Partisipasi dilakukan dengan meminta pasien membuat catatan tentang pola pikir, emosi, dan perilaku positif yang harus mereka lakukan.
Tercipta kerjasama antara pasien dan terapis merupakan kunci utama untuk mendapatkan hasil terapi yang memuaskan.
Persiapan terapi perilaku kognitif
Saat menjalani terapi perilaku kognitif, jangan takut atau ragu untuk menanyakan beberapa hal yang penting pada terapi, bisa psikiater atau psikolog.
Hal yang ditanyakan bisa terkait dengan metode pendekatannya, tujuan yang ingin dicapai melalui terapi, waktu pada setiap sesi terapi, dan berapa banyak sesi yang harus diikuti.
Namun, sebelum melakukan konsultasi, pastikan bahwa biaya konsultasi untuk terapi perilaku sudah diketahui.
Pada umumnya, terapi perilaku kognitif merupakan terapi jangka pendek, yaitu sekitar 10 menit selama 20 sesi. Sebaiknya berapa jumlah sesi yang diinginkan sudah didiskusikan terlebih dahulu sebelum proses terapi dimulai.
Namun, biasanya jumlah sesi terapi tergantung pada beberapa faktor dibawah ini:
- Jenis gangguan dan masalah yang dialami
- Tingkat keparahan
- Lama mengalami gangguan
- Tingkat stres
- Perkembangan pasien sejak terapi dimulai
- Jumlah dukungan dari keluarga dan orang terdekat
Proses terapi perilaku kognitif
Terapi yang biasanya dilakukan selama 30 hingga 60 menit dala setiap sesi ini akan berlangsung seperti dibawah ini:
- Kedua pihak yang terlibat dalam terapi ini memastikan bahwa terapi perilaku kognitif merupakan terapi yang tepat untuk mengatasi masalah yang dialami pasien.
- Terapis akan bertanya terkait dengan latar belakang dan masa lalu pasien. Selain tiu, sejumlah faktor yang kemungkinan menjadi penyebab masalah pasien akan ditanyakan, termasuk riwayat medis, peristiwa tertentu (misalnya perceraian), gejala gangguan jiwa, dan tujuan yang ingin dicapai lewat terapi.
- Jika masalah dan penyebabnya sudah diketahui, pasien akan diminta untuk menceritakan pemikiran perasaan mengenai masalah yang dialami. Dalam proses ini, terapis akan meminta pasien untuk membuat catatan dengan tujuan untuk membantu pasien memahami respon negatif saat menghadapi masalah, baik dalam pola pikir, perasaan, maupun perbuatan.
- Setelah membuat catatan, terapis akan berdiskusi dengan pasien terkait dampak dari respon negatif pada dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya, serta cara mengubah respon negatif tersebut menjadi positif.
- Sesudah pasien memahami masalah dan respon negatif yang harus dibah, pasien akan diminta untuk berlatih merespon segala sesuatu dengan positif dalam kegiatan sehari-hari.
- Proses latihan memberikan respon positif dilakukan di antara sesi terapi, dan akan didiskusikan pada sesi terapi selanjutnya.
Setelah terapi perilaku kognitif
Walaupun sesi terapi telah selesai, semua hal positif yang didapatkan selama proses terapi berlangsung tetap harus dilakukan. Hal ini berguna untuk mencegah munculnya gangguan kecemasan dan depresi.
Selain itu, karena mengatasi hal-hal yang berkaitan dengan kejiwaan bukanlah hal yang mudah, maka jangan pernah mengharapkan hasil yang cepat.
Pasien tidak perlu dipaksa dalam proses terapi, wajar apabila mereka merasa tidak nyaman pada pertemuan pertama. Pasien membutuhkan beberapa sesi untuk merasakan perkembangan dalam dirinya.
Artikel ini hanya sebagai informasi kesehatan, bukan diagnosis medis. HonestDocs menyarankan Anda untuk tetap melakukan konsultasi langsung dengan dokter yang ahli dibidangnya.