Saat ini difteri kembali mewabah di Indonesia, bahkan Kementerian Kesehatan RI sampai menetapkan status kejadian luar biasa (KLB). Infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae ini tergolong sangat menular dan berbahaya. Untuk itu kenali dengan benar gejala difteri dan lakukan pengobatan sesegera mungkin guna mencegah komplikasi lebih lanjut yang mematikan.
Apa Saja Gejala Difteri yang Dapat Dikenali?
Kemunculan gejala difteri umumnya dimulai dalam 2 hingga 5 hari setelah terinfeksi. Ciri khas gejala awal difteri ditandai dengan adanya radang tenggorokan, kesulitan menelan, hingga terjadi pembentukan pseudomembran atau lapisan abu-abu tebal yang menutupi tenggorokan juga amandel.
pseudomembrane pada difteri
Lapisan abu-abu tebal tersebut hanya dapat terlihat ketika mulut penderitanya dibuka lebar seraya menjulurkan lidahnya. Lapisan pseudomembran rawan berdarah apabila tersenggol atau dilepaskan.
Adapun gejala difteri lainnya meliputi:
- Demam yang tidak begitu tinggi (sekitar 38°C).
- Rasa tidak enak badan.
- Pembengkakan kelenjar getah bening, terutama di leher.
- Suara menjadi serak.
- Batuk keras.
- Kesulitan bernapas.
- Gangguan penglihatan dan bicara.
- Kulit pucat dan dingin.
- Jantung berdetak cepat.
Meski begitu, ada beberapa orang yang terinfeksi bakteri penyebab kerap tidak menunjukkan gejala yang jelas atau hanya menunjukkan gejala yang ringan. Mereka ini disebut dengan carrier atau pembawa difteri tak bergejala yang dapat menyebarkan infeksi ini dengan cepat melalui droplet (ingus atau ludah) ketika bersin atau batuk.
Selain memengaruhi tenggorokan, ada pula jenis difteri yang yang memengaruhi kulit. Gejalanya ditandai dengan rasa sakit yang khas, kemerahan dan pembengkakan pada area kulit yang terkena. Lapisan abu-abu tebal ditenggorokan juga dapat terjadi pada difteri jenis ini.
Bagaimana Cara Penyebaran Difteri?
Bakteri Corynebacterium diphtheriae dapat disebarkan melalui beberapa cara, yaitu:
- Melalui udara. Seseorang yang terinfeksi difteri dapat menyebarkan penyakit ini melalui bersin atau batuk.
- Melalui barang pribadi. Difteri juga dapat disebarkan melalui barang-barang pribadi seperti gelas, piring, handuk, mainan anak dan perabotan rumah tangga lain yang kerap digunakan secara bersamaan.
- Melalui luka. Bakteri penyebab difteri juga dapat menular ketika seseorang yang sehat menyentuh luka pada orang yang terinfeksi baik sengaja atau pun tidak.
Difteri dapat menyerang siapapun tanpa mengenal usia dan jenis kelamin. Meski begitu, berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI, terutama kasus yang mewabah saat ini, sebagian besar difteri dialami oleh anak-anak.
Kondisi tersebut disebabkan oleh sistem imun anak yang masih lemah. Diperparah lagi dengan adanya gerakan antivaksin di masyarakat, program imunisasi yang tidak lengkap dan kesadaran masyarakat yang sangat minim mengenai betapa bahayanya penyakit difteri.
Infeksi difteri juga lebih rentan menimpa lingkungan padat penduduk dengan kebersihan lingkungan atau sanitasi yang buruk. Disamping itu, seseorang yang bepergian ke daerah endemik difteri juga berisiko besar tertular infeksi difteri.
Bagaimana Mengobati Difteri?
Difteri merupakan kondisi serius yang harus segera ditangani dengan cepat dan tepat. Oleh karena itu, ketika diketahui adanya gejala khas difteri berupa radang tenggorokan dan timbulnya pseudomembran atau lapisan abu-abu tebal yang menutupi tenggorokan juga amandel, segeralah periksakan diri ke dokter.
Biasanya dokter akan memberikan suntikan antitoksin secara bertahap disertai dengan pemberian antibiotik seperti eritromisin atau penisilin guna membantu menyingkirkan bakteri penyebab.
Selama masa pengobatan, penderita harus diisolasi kurun waktu beberapa minggu guna menghindari penularan difteri yang begitu cepat. Selain itu, orang-orang terdekat di sekitar penderita disarankan untuk melakukan pemeriksaan juga guna memastikan apakah mereka ikut terinfeksi atau tidak.
Adakah Komplikasi Akibat Infeksi Difteri?
Infeksi difteri yang tidak segera ditangani dengan cepat dan tepat dapat memicu timbulnya komplikasi sebagai berikut:
- Masalah pernapasan. Bakteri penyebab difteri dapat menghasilkan toksin. Toksin ini kemudian dapat merusak jaringan di daerah infeksi langsung terutama di hidung dan tenggorokan melalui pembentukan lapisan tebal berwarnan abu-abu yang tersusun dari sel-sel mati, bakteri dan zat lainnya sehingga dapat membuat penderitanya kesulitan bernapas.
- Kerusakan jantung. Toksin yang dikeluarkan oleh bakteri penyebab dapat menyebar melalui aliran darah dan merusak jaringan lain di dalam organ tubuh, terutama otot jantung. Kondisi ini dapat memicu terjadinya pembengkakan otot jantung atau miokarditis sehingga bukan tak mungkin dapat berujung pada gagal jantung kongestif dan kematian mendadak.
- Kerusakan saraf. Toksin yang dilepaskan bakteri penyebab juga dapat memicu kerusakan saraf sehingga dapat menyebabkan terjadinya neuritis atau kerusakan saraf di saluran pernapasan hingga berujung pada gagal napas dan kematian.
Bagaimana Langkah Pencegahan Difteri yang Tepat?
Langkah pencegahan yang paling efektif untuk menangkal difteri adalah dengan melakukan vaksin difteri yang dikenal dengan DTaP. Vaksin ini biasanya diberikan dalam satu suntikan bersamaan dengan vaksin untuk batuk rejan (pertusis) dan tetanus.
Pemberian vaksin difteri dimulai sejak anak berusia 2, 4 dan 6 bulan, kemudian dilanjutkan ketika berusia 15 dan 18 bulan hingga 4 sampai 6 tahun.
Vaksin difteri ini hanya bertahan selama 10 tahun, jadi pemberian vaksin harus diulangi lagi ketika anak telah berusia sekitar 12 tahun. Untuk orang dewasa, disarankan untuk melakukan vaksin tetanus-diphtheria (Td), yakni gabungan vaksin difteri dan tetanus.
Penyakit difteri merupakan jenis penyakit yang sangat mudah menular dan berbahaya hingga dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu, kenalilah gejala awal difteri dengan benar. Lakukan pengobatan dengan segera dan yang terpenting ialah cegah difteri dengan melakukan vaksinasi difteri sedini mungkin sejak anak berusia 2 bulan.
Artikel ini hanya sebagai informasi kesehatan, bukan diagnosis medis. HonestDocs menyarankan Anda untuk tetap melakukan konsultasi langsung dengan dokter yang ahli dibidangnya.