Sebuah penelitian mengungkapkan, keadaan stres yang berujung pada depresi ternyata dikaitkan dengan genetik yang ada dalam tubuh seseorang. Gen mempengaruhi otak yang merespon kondisi stres yang seringkali berujung pada depresi.
Penelitian tersebut menerangkan, mutasi gen tertentu dapat menyebabkan berkurangnya produksi neuropeptide Y (NPY) pada otak, sehingga seringkali menimbulkan reaksi negatif pada seseorang. Reaksi tersebut dapat berupa stres yang berkembang menjadi depresi. NPY juga dapat menimbulkan rangsangan negatif dan respon fisiologis yang mengartikan rasa sakit di otak. Hal ini mampu menyebabkan seseorang kurang dapat mengendalikan stres sehingga berujung pada depresi.
Kepala penelitian Jon-Kar Zubieta menuturkan, pihak peneliti telah menemukan variasi genetik yang berkaitan dengan meningkatnya resiko depresi. Menyikapi penelitian tersebut, tiga penelitian terpisah juga menemukan hal serupa. Peneliti mencari hubungan antara mutasi genetik dan depresi. Mereka meneliti pada 39 orang dewasa yang menderita depresi dan 113 orang dewasa dengan kondisi mental yang normal.
Penelitan pertama dilakukan untuk mengukur besaran NPY pada setiap relawan dengan menggunakan Functional Magnetic Resonance Imaging (FMRI). Mereka melihat respon otak relawan, yang terdiri atas kategori positif, netral dan negatif.
Hasil menunjukkan, relawan dengan tingkat molekul otak yang rendah memiliki akititas otak yagn lebih banyak berhubungan dengan pengaturan emosi, korteks prefrontal, dibandingkan dengan mereka yang memiliki tingkat molekul yang tinggi.
Pada penelitian selanjutnya, peneliti melakukan pengukuran respon seseorang terhadap suatu peristiwa yang menyebabkan stres. Hasil menunjukkan seseorang dengan NPY yang rendah menempatkan respon emosional mereka dengan lebih negatif.
Melihat penelitian tersebut peneliti menyimpulkan, seseorang dengan variasi genetik akan lebih mudah menderita depresi dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki variasi genetik.
Artikel ini hanya sebagai informasi kesehatan, bukan diagnosis medis. HonestDocs menyarankan Anda untuk tetap melakukan konsultasi langsung dengan dokter yang ahli dibidangnya.