Manis adalah rasa yang sangat akrab di lidah kita. Setiap orang, baik muda maupun tua, menyukai rasa manis yang didapat dari gula. “Gula menyentuh preferensi manusia yang kuat untuk rasa manis", kata Marcia Pelchat, PhD, seorang ilmuwan di Monell Chemican Senses Center, sebuah lembaga penelitian dasar di Philadelphia. Bisa dibilang kita terlahir untuk menyukai gula, kata Pelchat. Sejak di dalam kandungan, janin sudah memilih rasa manis. Dan ketika baru lahir pun, bayi akan menjilat semua yang terasa manis, karena memberi efek analgesik (mengurangi rasa sakit) alami di dalam tubuh.
Untuk mendapatkan rasa manis dari setiap makanan dan minuman yang kita konsumsi, biasanya kita memasukkan gula, yang merupakan pemanis yang diolah dari tebu.
Konsumsi Gula Berlebih Memicu Berbagai Penyakit
Gula membuat hidup kita terasa manis. Sayangnya, si manis ini bisa memberikan kehidupan kita yang kurang manis di kemudian hari. Pasalnya, konsumsi gula berlebih dapat memicu munculnya diabetes atau di masyarakat dikenal dengan nama ‘kencing manis’, obesitas dan penyakit lainnya.
Para peneliti dari University of California, San Fransisco, Amerika Serikat mengungkapkan salah satu penyebab pandemic obesitas global adalah konsumsi gula yang berlebihan pada masyarakat. Gula menurut para peneliti bukan hanya berisi kalori kosong yang membuat orang gemuk. Bila dikonsumsi secara berlebihan gula dapat mengubah metabolisme, meningkatkan tekanan darah, dan pada kondisi yang kritis bisa mengubah sinyal hormon dan menyebabkan kerusakan hati secara signifikan. Bahaya kesehatan ini sebagian besar mirip dengan efek dari minum alkohol terlalu banyak. (1)
Tak Bisa Lepas dari Gula
Sayangnya, masih banyak orang yang kurang atau bahkan tidak peduli terhadap risiko kesehatan ini. Terbukti masih tingginya konsumsi gula di masyarakat. Dikutip dari newsinhealth.nih.gov, orang Amerika mengonsumsi 7,5 sendok makan gula setiap hari.
Hidup kita memang tidak bisa lepas dari gula. Banyak makanan dan minuman yang kita konsumsi sehari-hari tinggi kandungan gulanya. Sebagai contoh, dalam satu gelas teh manis terkandung 2 sendok makan gula dan 1 kaleng soda mengandung 3 sendok makan gula.
Bagaimana dengan makanan manis? Dalam satu potong donat terkandung 1 sendok makan gula, 1 potong fruit cake ukuran medium terkandung 2,5 sendok makan gula, dan1 potong martabak manis terkandung 1 sendok makan gula. Sedangkan snack manis seperti 1 batang cokelat susu batangan mengandung gula sebanyak 2,5 sendok makan, dan ½ scoop es krim mengandung 1¼ sendok makan gula. Apalagi makanan-makanan tersebut biasanya tidak menggunakan gula rendah kalori. Jadi bisa dibayangkan, betapa tingginya konsumsi gula Anda setiap hari.
Batasi Asupan Gula Harian Anda
Anda tentu tidak ingin kehidupan Anda berakhir pahit di kemudian hari, bukan? Karena itu sebaiknya Anda berhati-hati ketika hendak mengonsumsi makanan yang mengandung gula. Peraturan Menteri Kesehatan No.30, tahun 2013 membatasi total asupan gula harian adalah 50 gram atau setara dengan 4 sendok makan saja.
Bahkan WHO menganjurkan untuk membatasi asupan gula agar tidak lebih dari 25 gram (2 sendok makan) saja per hari untuk mendapatkan manfat kesehatan. Takaran tersebut tentu sangat sedikit, bahkan hanya cukup untuk menambahkan gula pada minuman saja. Padahal, konsumsi gula harian Anda tidak hanya dari minuman saja, tapi dari berbagai makanan tinggi gula yang seringkali Anda konsumsi tanpa Anda sadari.
Gula Rendah Kalori
Lantas apa yang harus dilakukan? Haruskah Anda melupakan rasa manis? Tenang, Anda tetap bisa mendapatkan rasa manis dengan gula rendah kalori. Gula berkalori rendah tentu lebih aman dan sehat untuk dikonsumsi. Gula rendah kalori memiliki rasa manis yang berkali-kali lipat lebih besar dari gula biasa, sehingga cukup sedikit saja, Anda sudah mendapatkan rasa manis yang diinginkan.
Gula rendah kalori juga dapat membantu menjaga asupan kalori tanpa mengorbankan rasa. Dan tentunya membantu mengendalikan berat badan Anda dalam jangka panjang. Selain itu, gula rendah kalori juga dapat membuat makan sehat menjadi lebih menyenangkan.
Artikel ini hanya sebagai informasi kesehatan, bukan diagnosis medis. HonestDocs menyarankan Anda untuk tetap melakukan konsultasi langsung dengan dokter yang ahli dibidangnya.