Lansia termasuk kelompok rentan dan paling berisiko terkena bahaya polusi udara. Seiring bertambahnya usia, sistem kekebalan seseorang kian menurun sehingga rentan terkena penyakit. Termasuk juga yang disebabkan oleh polusi udara. Lalu, seberapa bahayakah polusi udara pada lansia? Berikut penjelasannya.
Dampak polusi udara pada lansia
Baik atau buruknya kualitas udara dipengaruhi oleh setidaknya 6 polutan utama, yaitu PM2.5, PM10, karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), dan ozon (O3). Dari keenam polutan tersebut, ozon dan particulate matter (PM) merupakan polutan yang paling berpengaruh bagi kesehatan lansia.
Berikut ini berbagai dampak polusi udara pada lansia, yakni:
1. Serangan asma
Meskipun dalam jumlah sedikit, masuknya partikel ozon ke dalam tubuh dapat memicu serangan asma pada lansia. Asma adalah gangguan pada sistem pernapasan yang membuat penderitanya sulit bernapas.
Tidak hanya ditandai dengan sesak napas, gejala asma membuat lansia merasa nyeri di bagian dada, napas bunyi (mengi), hingga batuk yang tak kunjung reda. Guna mengurangi paparan polusi, lansia disarankan untuk selalu memakai masker tiap kali ke luar rumah.
Baca Selengkapnya: Polusi Jakarta Memburuk, Harus Pakai Masker Anti Polusi yang Mana?
2. Bronkitis kronis
Semakin bertambahnya usia, fungsi organ-organ tubuh mengalami penurunan. Termasuk juga bagi paru-paru, kondisinya tentu tak lagi sekuat dulu sehingga rentan terserang penyakit.
Nah, hal ini dapat diperparah dengan paparan polusi udara dari luar. Apalagi jika memang sebelumnya lansia sudah mengalami masalah pernapasan, maka partikel berbahaya dari polusi bisa memperparah keadaan. Lansia kemungkinan akan menderita penyakit paru-paru kornis, salah satunya bronkitis.
3. Aritmia jantung
Tak hanya menyerang paru-paru, dampak polusi udara juga bisa membahayakan kesehatan jantung. Dari sekian banyak jenis polutan yang ada, hal ini paling banyak dipengaruhi oleh paparan partikel PM2.5.
Walaupun sudah pakai masker, partikel PM2.5 tetap bisa menembus masker yang biasa Anda pakai karena ukurannya sangat kecil, yaitu sekitar 3% dari diameter rambut manusia. Terlebih lagi, partikel PM2.5 terbukti 3 kali lebih berbahaya daripada PM10 sehingga sangat mudah menginfeksi tubuh manusia.
Dalam jangka pendek, partikel PM2.5 dapat memicu iritasi mata, hidung, dan tenggorokan. Itulah sebabnya Anda jadi batuk-batuk, bersin, pilek, hingga sesak napas setelah terkena polusi.
Semakin lama dibiarkan, partikel PM2.5 ini dapat menumpuk di paru-paru dan diteruskan ke organ lainnya. Bila sudah mencapai jantung, partikel PM2.5 dapat memicu artimia jantung pada lansia.
Aritmia jantung adalah kondisi saat jantung berdetak tidak normal, bisa jadi terlalu cepat atau terlalu lambat. Normalnya, jantung akan berdetak secara teratur sekitar 60-100 kali per menti. Apabila di atas 100 kali per menit, disebut dengan takikardia, sedangkan bila di bawah 60 kali per menit disebut bradikardia.
Baca Juga: Polusi Udara Jakarta Makin Parah, Berapa Angka AQI dan PM2.5 yang Aman?
4. Kematian dini
Paparan polusi udara jangka panjang ternyata dapat memangkas harapan hidup seseorang. Menurut para ahli, dampak polusi udara bisa memicu kematian dini, terutama bagi penderita penyakit jantung, penyakit paru-paru, hingga kelompok rentan seperti lansia.
Hal ini dibuktikan melalui sebuah studi dalam jurnal The New England Journal of Medicine tahun 2017 silam. Para ahli menemukan bahwa setiap kenaikan 10% µg/m3 partikel PM2.5 di udara dapat meningkatkan risiko kematian hingga 13.6%.
Didukung oleh data WHO pada tahun 2016, paparan polusi udara menyebabkan 6,5 juta kematian dini. Hampir 94% kasus kematian terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, khususnya di daerah perkotaan.
Jika kita mampu mengurangi partikel PM2.5 setidaknya 1% µg/m3 saja di seluruh dunia, maka langkah kecil ini menyelamatkan hidup 12.000 lansia di atas 65 tahun. Dengan demikian, para lansia dapat menghirup udara bersih lebih banyak dan kesehatannya pun terjamin.
Baca Selengkapnya: 5 Kebiasaan Sehari-hari yang Dapat Mengatasi Pencemaran Udara
Artikel ini hanya sebagai informasi kesehatan, bukan diagnosis medis. HonestDocs menyarankan Anda untuk tetap melakukan konsultasi langsung dengan dokter yang ahli dibidangnya.